JAKARTA, Berita86.com- Pada pelaksanaan haji 2026 nanti, diperkirakan sebanyak 221 ribu jamaah haji Indonesia akan berangkat ke Tanah Suci dengan nilai perputaran dana mencapai Rp17 triliun sampai Rp20 triliun.
Menyikapi besarnya nilai tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong Kementerian Haji dan Umrah untuk memperkuat transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Hal tersebut guna memastikan layanan haji yang akuntabel dan bebas penyimpangan.
Baca Juga:KPK Tahan 4 Tersangka Dana Hibah Pokmas Jawa Timur 2019-2022, Salah Satunya Mantan Kepala DesaKPK Serahkan Barang Rampasan Senilai Rp3,7 Miliar ke MA, Ini Rinciannya
Dorongan ini disampaikan Pimpinan KPK saat menerima audiensi jajaran Kementerian Haji dan Umrah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis, 3 Oktober 2025.
“Prinsipnya itu transparansi, kalau ada proses lelang, pengadaan, sebaiknya dipublikasikan saja,” ucap Ketua KPK, Setyo Budiyanto.
Setyo Budiyanto menegaskan, keterbukaan dalam pengadaan akan memudahkan masyarakat mengawasi proses dan mencegah persoalan seperti yang terjadi pada pelaksanaan haji tahun lalu, yang tidak hanya terkait kuota tetapi juga berbagai aspek lainnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Haji dan Umrah, Mochamad Irfan Yusuf, menyatakan komitmennya mewujudkan layanan yang efektif, akuntabel, dan transparan.
Untuk itu, sambung Menteri Haji dan Umrah, pihaknya akan menggandeng KPK dalam pencegahan potensi penyimpangan.
“Kami minta bantuan KPK untuk bisa menjalankan amanah sesuai yang diperintahkan oleh presiden,” ujar Irfan.
Dalam forum tersebut, Irfan memaparkan sejumlah titik rawan dalam PBJ layanan haji.
Baca Juga:KPK Tahan MED, Tersangka Suap Pengurusan Perkara di MAPerbankan Daerah Rawan Korupsi, KPK Ingatkan Peran SPI Ada di Garda Terdepan
Seperti potensi markup dan gratifikasi pada pengadaan gelang identitas, buku manasik, hotel, penerbangan, katering, dan transportasi.
Kerugian negara juga dapat muncul apabila premi asuransi melebihi nilai aktuaria.
Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, mengingatkan bahwa risiko terbesar bukan hanya kerugian negara, melainkan praktik pemberian upeti terkait kuota haji.
“Yang paling rawan itu bukan kerugiannya, tapi menerima upeti karena semua orang itu pasti ingin berangkat,” tegas Fitroh.
Ia juga mengingatkan pentingnya menghindari konflik kepentingan dan mendokumentasikan seluruh proses pengadaan sebagai bentuk antisipasi.
Selain paparan PBJ, Kementerian Haji dan Umrah meminta bantuan KPK melakukan tracing terhadap sejumlah calon pejabat yang bergeser dari Kementerian Agama ke Kementerian Haji dan Umrah, untuk memitigasi potensi masalah di masa depan.