Muncul Perdebatan soal Penetapan Waktu Subuh di Indonesia, Simak Penjelasan Kemenag

Berikut penjelasan
Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Kemenag, Arsad Hidayat. Foto: Kemenag.
0 Komentar

JAKARTA, Berita86.com- Pihak Kementerian Agama (Kemenag) menjelaskan dasar ilmiah dan fikih penetapan waktu Subuh di Indonesia, menyusul mencuatnya kembali perdebatan publik mengenai derajat posisi Matahari sebagai penanda terbitnya Fajar Shadiq.

Penetapan jadwal salat nasional ditegaskan bukan hasil perkiraan semata, tetapi merupakan hasil ijtihad kolektif yang menggabungkan kajian astronomi, verifikasi lapangan, dan rujukan fikih dari literatur klasik hingga kontemporer.

Hal tersebut seperti disampaikan Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Kemenag, Arsad Hidayat.

Baca Juga:Kemenag Siapkan Rp50 Miliar untuk Tunjangan dan Insentif Guru Agama KristenApa Itu GAS Nikah yang Digaungkan Kemenag? Simak Nih Penjelasannya

Ia menjelaskan bahwa para ulama fikih telah mendeskripsikan Fajar Shadiq sebagai cahaya putih horizontal yang muncul di ufuk timur dan terus bertambah terang.

Deskripsi ini, menurutnya, menjadi dasar syar’i yang harus diverifikasi dengan pendekatan astronomi modern.

“Fikih memberi definisi, astronomi membantu mengukur. Sinergi keduanya penting agar penetapan ibadah memiliki dasar yang lengkap,” ujarnya di Jakarta, Senin (1/12/25).

Arsad menegaskan pemilihan derajat sekitar –20° telah melalui forum diskusi, musyawarah pakar falak, dan kajian fikih lintas mazhab.

Arsad memaparkan bahwa karakter atmosfer Indonesia yang berada di kawasan tropis memengaruhi intensitas dan hamburan cahaya fajar.

Tingkat kelembaban, ketebalan atmosfer, hingga polusi cahaya turut membentuk kurva cahaya fajar yang berbeda dengan wilayah lintang sedang.

Di sejumlah titik observasi yang dilakukan bertahun-tahun, cahaya Fajar Shadiq berulang kali terdeteksi pada rentang –19° hingga –20°.

Baca Juga:Presiden Tinjau Lokasi Banjir di Sumatera, Kemensos Perkuat Dukungan Perlindungan SosialKemenag dan Baznas Beri Pinjaman Lunak melalui BMM MADADA untuk Cegah Pinjol dan Judol, Ini Skemanya

“Inilah sebabnya verifikasi lokal menjadi sangat penting. Kita tidak bisa hanya mengadopsi standar negara lain tanpa pengujian,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa Kemenag tidak pernah menutup ruang dialog ilmiah.

Semua dokumen pengamatan, foto, data lapangan, serta hasil uji tim tersedia untuk dikaji para peneliti falak maupun ormas Islam.

Tuduhan manipulasi data, kata Arsad, bertentangan dengan fakta dokumentasi yang telah dipublikasikan.

“Seluruh proses dilakukan dengan kehati-hatian, akuntabilitas, dan keterbukaan. Negara tidak berkepentingan apa pun selain memastikan ibadah umat terlaksana dengan benar,” katanya.

Menurut Arsad, perbedaan penentuan derajat di kalangan peneliti maupun ormas Islam sejatinya adalah bagian dari dinamika ijtihad ilmiah yang wajar.

0 Komentar